Bila Dipanggil Ibu

“Amaaar…” panggilan umi kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Malas-malasan Amar menuju ke belakang.
“Ada apa sih Mi…? nada suara Amar terdengar kesal.
“Anak umi dipanggil-panggil kok susah sekali ya, lagi ngapain sih? Ini lauknya sudah matang, kamu makan dulu ya!”
“Masih asyik nih Mi, ceritanya lagi seru-serunya.”
“Duh anak umi kalau sudah baca komik, sampai nggak terasa lapar. Ini sudah siang lho Nak!”

Akhirnya Amar mengikuti umi ke meja makan, mengambil nasi, dan duduk di samping umi.
“Lho, Mi, ini kok ada yang gosong…”
“Biar, nanti yang gosong buat umi. Kamu ambil yang nggak gosong ya!”

Umi ikut mengambil nasi di piring, kemudian memindahkan lauk yang gosong ke piringnya.
“Kok bisa ada yang gosong sih Mi?”
“Tadi waktu umi sedang menggoreng, adik bangun, nangis. Umi langsung lari ke kamar adik, sampai lupa mengecilkan api kompor. Tapi Alhamdulillah, yang gosong cuma dua, lauk terakhir yang sedang umi goreng. Ayo dimakan, jangan lupa doa dulu!”

Untuk beberapa saat Amar dan umi berkonsentrasi pada makanan yang ada di hadapan mereka. Di tengah-tengah mereka makan, terdengar suara tangis Salma, adik Amar yang masih bayi. Umi segera berhenti makan, dan setengah berlari, umi menuju ke kamar Salma.

Amar memandangi sisa nasi di piring umi, juga lauk umi yang gosong. Tiba-tiba ada keinginan di hati Amar untuk merasakan lauk yang setengahnya menghitam yang ada di piring umi.
“Pahit…” gumam Amar sambil segera mengambil air minum. Kasihan umi, pasti nggak enak makan dengan lauk gosong.

Amar menyusul umi ke kamar Salma. Ternyata umi sedang mengganti popok adiknya yang ngompol.
“Tuh Kak Amar. Sini Kak, temani adik dulu ya!”
“Umi mau teruskan makannya ya? Lauknya diganti yang nggak gosong saja Mi!”
“Lho, terus lauk yang gosong dikemanakan, dibuang? Karena nggak enak dimakan? Itu mubadzir namanya sayang, nggak disukai Allah. Lagian yang gosong kan cuma luarnya, dalamnya masih enak dimakan.”

Belum sampai lima menit Amar menunggui adiknya dan umi menghabiskan sisa makanannya, Salma sudah menangis lagi.
Umi pun kembali ke kamar Salma.
“Kenapa sayang? Ooh, Salma pingin bangun ya… Kak Amar belum bisa gendong Salma, yuk gendong umi yuk…”

Umi menggendong Salma. Amar mengikuti di belakang. Ternyata, umi masih belum selesai makan. Sambil memangku adiknya, umi menghabiskan sisa nasinya yang tinggal satu sendok.

Amar tertegun. Demikian susahnya umi menikmati waktu makannya tanpa gangguan. Bahkan apa pun yang sedang dilakukan umi, beliau langsung menghentikannya saat mendengar adiknya menangis. Bukan, bukan hanya tangis adik yang membuat umi berhenti mengerjakan pekerjaan rumah. Kemarin, waktu dia teriak-teriak memanggil umi karena tidak bisa turun dari pohon belimbing di depan rumah yang dipanjatnya, umi juga langsung berlari dan meninggalkan setrikanya yang panas menempel di salah satu bajunya yang sedang disetrika.

Alhamdulillah yang gosong baju umi sendiri. Bukan seragam sekolah kamu atau baju abi.” kata umi setelah membantunya turun dari pohon belimbing itu dan tersadar kalau setrikanya belum beliau matikan.

Ya Allah, begitu bersegeranya umi datang ketika kami, anak-anaknya membutuhkannya. Sementara aku… Tadi saja waktu umi memanggilku untuk makan, aku malas-malasan memenuhi panggilannya, bahkan sampai tiga kali umi harus mengulang memanggil namaku, padahal sedang apa aku tadi… Baca komik, kegiatan yang tidak penting dan tidak rugi bila ditinggalkan sesaat untuk menyambut panggilan umi.
Amar terus terdiam, merenungi kesalahannya yang bukan baru sekali ini dia lakukan. Maafkan Amar ya Umi!

Dunia Aretha



Source : adzkia.com

Telah dibaca :
Track Stats
Bila Dipanggil Ibu Baca selengkapnya...

Habib bin Zaid, Setia Membela Rasulullah

Inilah kisah seorang anak yang teguh imannya. Pemuda yang gagah dan pemberani. Sahabat nabi yang sudah beriman sejak usial belia. Dialah Habib bin Zaid.
 
Habib bin Zaib lahir di Madinah. Ayahnya bernama Zaid bin ‘Ashim, seorang tokoh masyarakat Madinah. Ibunya adalah Nusaibah binti Ka’ab. Ia memiliki seorang saudara laki-laki bernama Abdullah bin Zaid. Zaid bin ‘Ashim bersama istri dan kedua akanya, Habib dan Abdullah, ikut dalam rombongan penduduk Madinah dalam Baiat Aqabah. Padahal waktu itu, Habib masih anak-anak.

Saat terjadi perang Badar dan Uhud, usia Habib belum cukup dewasa untuk ikut berperang. Meskipun dia sangat ingin bergabung dengan laskar Islam pimpinan Rasulullah. Setelah usianya cukup, Habib tak pernah absen dalam setiap peperangan demi membela agama Allah. Habib bin Zaid menjadi seorang prajurit yang tangguh, pembawa bendera dan panji-panji Islam yang gagah berani.

Keberaniannya ditunjukkan saat Habib diberi tugas membawa surat dari Rasulullah kepada Musailamah Al-Kadzab, nabi palsu dari Yamamah.
Dikisahkan, suatu hari Rasulullah menerima utusan dari Yamamah. Utusan tersebut mengantarkan surat dari Musailamah Al-Kadzab.

Dalam suratnya , Musailamah mengaku telah diangkat menjadi nabi dan rasul.
Rasulullah membalas dengan surat berisi nasihat untuk menyadarkan Musailamah. Namun surat Rasulullah tidak mengubah sikap Musailamah. Bahkan Musailamah terus menyebarkan ajarannya dan menghimpun kekuatan untuk membelanya. Kali ini Rasulullah mengutus seorang sahabatnya untuk menyampaikan surat dan nasihatnya. Sahabat yang diberi amanah tersebut adalah Habib bin Zaid.

Dengan segera, Habib menjalankan amanah Rasulullah. Dia berangkat ke Yamamah untuk menemui Musailamah   Al-Kadzab. Perjalanan yang panjang dan penuh rintangan tak menyurutkan semangatnya.
Sesampai di Yamamah, Habib segera memberikan surat Rasul kepada Musailamah. Nabi palsu itu pun marah membaca surat dari Rasulullah. Dan ia melampiaskan kemarahannya kepada Habib.

Ia memerintahkan tentaranya untuk mengikat Habib dan menyiksanya. Di hadapan para pengikutnya, Musailamah menyiksa Habib dan memaksanya mengakui kenabiannya. Namun dengan tegas, Habib mengingkari  kenabian Musailamah. Dia hanya mengakui Muhammad sebagai  Nabi dan Rasul Allah. Penolakan Habib semakin membuat Musailamah marah. Maka ia pun menyiksa Habib hingga utusan Rasulullah tersebut menjemput syahidnya. Habib rela disiksa dan dibunuh demi membela Rasulullah, orang yang paling dicintainya melebihi cintanya kepada orang tuanya.

Berita syahidnya Habib sampai ke Madinah. Ibunda Habib, Nusaibah, menerima dengan ikhlas kepergian putra tercintanya. Ia pun berniat, suatu saat akan membalasnya. Maka, ketika Khalifah Abu Bakar mengirimkan tentaranya untuk memerangi Musailamah, Nusaibah turut serta berjuang dengan para prajurit Islam. Musailamah dan pasukannya bisa dikalahkan oleh kaum muslimin. Namun, Nusaibah, ibunda Habib bin Zaid gugur menemui syahid, seperti putranya Habib.

Dunia Aretha



Source : adzkia.com

Telah dibaca :
Track Stats
Habib bin Zaid, Setia Membela Rasulullah Baca selengkapnya...

Ibuku Juga Hebat

Alya baru saja pulang sekolah. Ia mendapati rumahnya sepi. Di bawah pintu cuma ada secarik kertas. Isinya tulisan ibu. “Alya sayang, ibu perge sebentar. Kunci pintu di tempat biasa. Cup sayang, Ibu.”
Ah, rupanya ibu sedang perti. Alya segera mengambil kunci di bawah pot tanaman hias. Tempat biasa ibu meletakkan kunci saat pergi.

Alya segera masuk kamar. Ganti baju dan menaruh seragam sekolah yang baru saja dipakainya ke tempat cucian. Lalu menuju ke ruang tengah. Membaca buku cerita yang dibelikan ayah kemarin. Ia belum menyelesaikannya.

Baru sempat membaca beberapa halaman, tiba-tiba dia teringat tugas sekolahnya. Membuat cerita tentang ibu. Ah, Alya bingung. Ia merasa tak ada yang istimewa dengan ibunya. Maklum, ibu Alya hanyalah seorang ibu rumah biasa. Bukan wanita karir yang bekerja di kantor.

“Ah, andai saja ibu menjadi wanita karir, pasti banyak hal yang bisa aku ceritakan pada teman-teman. Kalau seperti ini, apa yang bisa aku ceritakan?” Alya bergumam dalam hati.
Tingtong…tingtong….
Tiba-tiba bel berbunyi. Alya bergegas membukakan pintu. “Assalamu’alaikum….!”
“Eh, Tante Irma….! Wa’alaikumussalam….! Silakan masuk, Tante…!”
Ternyata yang datang adalah Tante Irma, adik ibu yang paling kecil.
“Sendirian ya, Al?”
“Iya, Tante! Alya baru saja pulang sekolah. Ibu nggak tahu pergi ke mana!”
“Oh, tadi ibumu telpon. Katanya dia mau pergi, ada urusan sebentar. Lalu tante disuruh kemari, menemani keponakan tante yang paling cantik ini…!” kata Tante Irma sambil mencubit pipi Alya.
“Ah, Tante bisa aja!” Alya tersipu malu.
“Nih, tante bawain kesukaan kamu. Kue pukis rasa coklat!”
“Asyiiik…., terima kasih, Tante…!” Alya langsung mengambil sebuah, dan disantapnya dengan lahap.
“Tante, boleh tanya, nggak?”
“Tanya apa? Untuk Alya, tante akan menjawabnya!”
“Alya ada tugas sekolah. Membuat tulisan tentang ibu. Alya bingung mau nulis apa.”
“Ya udah, tulis aja apa adanya. Tentang ibu yang pintar memasak, selalu menemani kamu belajar, atau tentang ibu yang cinta pada anaknya!”
“Ah, nggak asyik. Coba kalau ibu jadi wanita karir!”
“Eh, jangan salah! Tante ceritain, ya! Sebenarnya, dulu ibumu juga wanita karir. Ia bekerja satu kantor dengan ayahmu.”
“Oya, kok ibu nggak pernah cerita, ya? Terus kenapa sekarang tidak bekerja lagi?”
“Nah, ceritanya tuh, dulu kalau bapak dan ibumu berangkat kerja, kamu dititipkan di tempat nenek. Suatu saat nenek sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Kamu jadi nggak ada yang jagain. Tante sendiri waktu itu masih kuliah di luar kota. Akhirnya ibumu memutuskan untuk keluar kerja karena tak tega meninggalkan kamu sendirian. Kamu tahu kan, ibumu sangat menyayangimu. Ia tak mau menitipkan anak satu-satunya kepada orang lain. ”

Alya hanya mengangguk-anggukkah kepalanya mendengar cerita Tante Irma. Ada rasa bangga meliputi hatinya, ternyata ia memiliki ibu yang sangat mencintainya. Demi dia, ibu rela keluar kerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga biasa.

“Hei, kok jadi bengong gitu!” seru Tante Irma melihat Alya yang terus terdiam. “Oya ada lagi. Ibumu juga pintar menulis, lho! Di saat-saat senggang, ibumu seringkali membuat cerita atau menulis naskah artikel. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa. Kalau nggak salah, ibumu juga menulis beberapa buku cerita anak, lho…! Hebat kan ibumu!”
“Wah, begitu ya! Kok Irma nggak tahu, ya! Terima kasih ya, Tante! Irma jadi punya banyak bahan tulisan untuk tugas besok.”
“Assalamu’alaikum….!” Terdengar suara salam. Suara yang sangat Alya kenal. Ibu.
“Wa’alaikumussalam….! Ibuu…! Ibu dari mana?” sambut Alya sambil menyalami ibunya.
“Ibu tadi terpaksa pergi sebentar. Ada teman ibu yang butuh bantuan. Terus ibu minta Tante Irma menemani kamu!”
“Iya, tadi tante juga kasih banyak cerita pada Alya.”
“Cerita apa?” tanya ibu penasaran.
“Ada deh…! Yang jelas, Alya jadi makin sayang sama Ibu…!”
Alya dan Tante Irma saling memberi kode dengan kerlingan mata.


Dunia Aretha



Source : adzkia.com


Telah dibaca :
Track Stats
Ibuku Juga Hebat Baca selengkapnya...

Kisah Qabil dan Habil

Setelah tinggal beberapa lama di bumi, Adam dan Hawa akhirnya dikaruniai anak. Anak-anak Adam dan Hawa sangat banyak. Hawa selalu melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan. Hanya Allah yang tahu jumlah pastinya. Diantara anak-anak Adam, ada dua yang kisahnya diabadikan dalam Al-Quran. Yaitu Qabil dan Habil.

Dikisahkan, Qabil dan Habil tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang kuat. Qabil bekerja sebagai petani. Habil menjadi peternak. Karena sudah dewasa, Nabi Adam berniat menikahkan keduanya. Atas petunjuk dari Allah, Qabil akan dinikahkan dengan saudari kembar Habil, dan Habil akan dinikahkan dengan saudari kembar Qabil. Namun Qabil menolaknya. Ia memilih untuk menikahi saudara perempuannya sendiri, karena lebih cantik. Qabil tidak rela jika saudara perempuannya akan dinikahkan dengan Habil.

Lalu Nabi Adam memerintahkan Qabil dan Habil mempersembahkan korban untuk Allah. Siapa yang kurbannya diterima Allah, maka dialah yang berhak menikah dengan saudara perempuan Qabil.
Habil mempersiapkan korbannya berupa hewan ternak yang paling bagus dan gemuk. Sedangkan Qabil mempersembahkan hasil pertaniannya yang buruk. Keduanya meletakkan korbannya masing-masing di sebuah tempat. Kemudian, api datang dari langit dan menyambar korban yang  dipersembahkan Habil. Sementara korban milik  Qabil tidak tersentuh api.

Melihat kejadian ini, Qabil pun marah. Ia mengancam akan membunuh Habil.
“Aku pasti membunuhmu!” kata Qabil.
Mendengar ancaman saudaranya, Habil hanya menjawab, “Sesungguhnya Allah hanya menerima korban dari orang-orang yang bertakwa.”

Suatu hari, Habil terlambat pulang. Nabi Adam meminta Qabil untuk mencarinya. Qabil pun berangkat mencari Habil. Keduanya bertemu di tempat yang sepi. Qabil yang masih memendam amarah merasa memiliki kesempatan untuk melampiaskannya. Ya, Qabil hendak membunuh Habil.

Habil yang merasa terancam, mencoba mengingatkan Qabil. “Sungguh kalau engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untukmembunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb seru sekalian alam.”
Namun Qabil telah gelap mata. Diambilnya sebuah batu lalu dipukulkannya ke kepala Habil. Habil pun mati seketika.

Setelah membunuh Habil,Qabil merasa bingung. Ia tak tahu bagaimana cara memperlakukan jenazah Habil. Ia menggendongnya kesana kemari. Hingga Allah memerintahkan burung gagak untuk memberikan contoh.
Qabil melihat dua ekor burung gagak sedang bertarung. Salah satunya kalah dan mati. Qabil melihat burung gagak yang masih hidup menggali tanah, meletakkannya bangkai burung yang mati ke dalamnya, dan lalu menimbunnya.

Melihat peristiwa itu Qabil menyesal seraya berkata, ”Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”

Qabil pun segera menggali tanah dan mengubur jasad Habil di dalamnya.
Qabil kemudian mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Pada hari yang sama saat dia membunuh saudaranya, kakinya terikat sampai ke tulang pahanya, dan wajahnya dipaksa terarah kepada matahari. Wajahnya selalu mengarah kepada matahari sebagai hukuman atas apa yang dilakukannya kepada saudaranya.

Rasulullah  bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan oleh Allah siksaannya bagi pelakunya di dunia dan disimpan sisanya di akhirat daripada aniaya dan memutus silaturrahim.”

Dunia Aretha



Source : adzkia.com
Telah dibaca :
Track Stats
Kisah Qabil dan Habil Baca selengkapnya...

Nabi Nuh AS : Lebih dari 950 Tahun Berdakwah

nabi nuhNabi Nuh AS, adalah Rasul yang diutus Allah SWT ke muka bumi. Ia berdakwah selama 950 tahun lebih. Ia juga manusia pertama yang berhasil membuat perahu. Ketika Allah SWT menurunkan azab banjir bandang, semua penghuni jagad raya ini lenyap, kecuali yang ikut berlayar bersama Nabi Nuh AS.

Nabi Nuh AS adalah keturunan yang ke 10 dari Nabi Adam AS. Nabi Nuh diutus Allah SWT untuk menyeru umat manusia agar menyembah Allah, dan melarang menyembah kepada selain Allah.

Semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di antara mereka ada yang mencari Allah SWT seperti Nabi Ibrahim AS, ada juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa AS, dan di antara mereka ada juga yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di Gua Hira, seperti Nabi Muhammad SAW.

Lalu bagaimana dengan Nabi Nuh AS. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Allah SWT menciptakan mereka. Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah sebelum pengutusannya kepada manusia.

Namun ada sebab lain yang berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh As. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah, dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya.

Allah mengisahkan Nuh AS, sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur (Al-Isra’ ayat 3). Allah memilih hambanya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai Nabi kepada kaumnya. Nabu Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya.

Ibnu Katsir menulis dalam kitabnya Qishashul Ambiya, Nabi Nuh AS diutus pada kaumnya bernama Bani Rasib. Hal yang sama disebutkan oleh Ibnu Jubair dan yang lainnya.

Pada saat itu, kaum Nabi Nuh berada dalam puncak kesesatan yang nyata. Tenggelam dalam kekafiran dan kemunafikan. Mereka menyembah patung atau berhala.

Dakwah Nabi Nuh AS
Setelah Allah menetapkan sebagai utusan pembawa Risalah atau Hidan, maka keluarlah Nabi Nuh AS menemui kaumnya. Ia menyerukan kepada kaumnya. “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-A’raf: 59).

Dengan kalimat yang singkat tersebut Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya hakikat ketuhanan dan hakekat kebangkitan kepada kaumnya. Di sana hanya ada satu pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan, kemudian kiamat, hari besar yang didalamnya terdapat siksaan yang besar pula.

Nabi Nuh AS menjelaskan kepada kaumnya, mustahil ada tuhan selain Allah yang maha Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nabi Nuh AS juga menyampaikan, Allah SWT telah memuliakan manusia. Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki dan menganugrahi akal.

Dakwah Nabi Nuh AS ternyata tidak berkenan di hati kaumnya. bahkan sebagian besar kaumnya mengolok-oloknya, dengan mengatakan, Nabi Nuh adalah seorang pembohong dan ajakannya tak perlu diikuti. Sebab, dimata kaumnya, Nabi Nuh bukanlah siapa-siapa, ia hanyalah manusia biasa, dan bukan dari golongan kaum bangsawan.

Maka terbelahlah kaum Nabi Nuh menjadi beberapa golongan, kelompok orang yang lemah, orang fakir dan orang yang menderita di mana kelompok ini adalah mereka yang merasa dilindungi dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Dan satu lagi kelompok orang kaya, orang-orang kuat dan bangsawan penguasa.

Kelompok inilah yang kemudian menjadi penentang bagi dakwah yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Bahkan kelompok ini kemudian menyusun rencana untuk melakukan serangan kepada Nabi Nuh, dengan melancarkan tuduhan, Bahwa Nabi Nuh adalah seorang pembohong.

Selanjutnya para pembesar dari kaum Nabi Nuh menggunakan dalih, Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka. Karenanya dakwahnya tak perlu di ikuti. “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami” (QS. Hud: 27).

Tidak hanya itu, para penguasa bahkan mengejeknya, dengan mengatakan, “Kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas saja percaya, dan kami kira kamu tidak memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang yang berdusta.” (QS. Hud: 17)

Lebih dari 950 Tahun
Namun bukanlah seorang Nabi, bukan pula seorang utusan Allah, bila mudah putus asa. Nabi Nuh dengan penuh ketabahan menerima semua cercaan dan ejekan itu sebagai sebuah ujian dan konsekwensi dari tugas kerasulannya. Beliau tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya.

Waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun, berlalulah masa yang panjang itu. Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya, siang dan malam, dengan sembunyi maupun dengan terang-terangan. Bahkan ia memberikan contoh kepada mereka, memberikan penjelasan mengenai tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT di dunia ini.

Namun setiap kali Nabi Nuh mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Mereka lari darinya, setiap kali Nabi Nuh menyeru agar Allah mengampuni mereka. Kaum Nabi Nuh justru meletakkan jar-jari mereka di telinga-telinga mereka, dengan kesombongan dan kecongkakan yang tinggi mereka mengolok-olok Nabi Nuh AS.

Mendapat hinaan yang bertubi-tubi, Nabi Nuh tetap berupaya meyakinkan kaumnya, dengan mengatakan “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti-bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku ramat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu? Apa akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? (QS. Hud: 28).

Mendengar seruan Nabi Nuh demikian, para pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan nyata.” (QS. Al-A’raf: 60). Nabi Nuh pun menjawab dengan menggunakan bahasa yang sopan dan santun, bahasa para Nabi yang agung.

“Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun, aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu ketahui.” (QS, Al-A’raf: 61-62)

Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya selama ratusan tahun. Sayangnya jumlah kaum mukminin tidak bertambah, sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih, namun ia tidak sampai putus harapan. Ia tetap menjaga harapan selama 950 tahun.

Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka saat itu Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 27).

Nabi Nuh memanjatkan doanya dengan alasan, “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir (QS. Nuh: 27)

 source : sufiz.com
Dunia Aretha



Telah dibaca :
Visitors
Nabi Nuh AS : Lebih dari 950 Tahun Berdakwah Baca selengkapnya...

Legenda Batu Kuwung - Banten

batu kuwungBatu Kuwung adalah sebuah obyek wisata pemandian air panas yang terletak sekitar 32 km arah selatan Serang, Provinsi Banten, Indonesia. Batu kuwung berarti batu cekung, yaitu sebuah batu berbentuk cekung yang dapat mengeluarkan air panas. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan sumber mata air panas ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan keberadaan sumber mata air panas Batu Kuwung? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Batu Kuwung berikut ini!

* * *

Alkisah, pada masa pemerintahan Sultan Haji (tahun 1683-1687 M), hiduplah seorang saudagar yang tinggal di sebuah desa di daerah Banten. Ia sangat dekat dengan sang Sultan. Karena kedekatannya tersebut, ia mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada untuk daerah Lampung. Tak heran, jika usahanya menjadi maju pesat, sehingga dalam waktu singkat ia menjadi saudagar kaya yang disegani. Hampir semua tanah pertanian yang ada di desa-desa sekitar tempat tinggalnya menjadi miliknya. Ia memiliki tanah itu dengan cara memeras warga, yaitu memberi hutang kepada mereka dengan bunga yang tinggi, sehingga mereka kesulitan untuk membayarnya. Para petani pun terpaksa menyerahkan tanah-tanah pertanian mereka untuk menebus hutang kepada sang Saudagar.

Penderitaan para warga pun semakin menjadi-jadi ketika saudagar kaya itu diangkat menjadi kepala desa di daerah itu. Ia senantiasa menyalahkangunakan kekuasaannya dengan cara memungut pajak lebih tinggi dari yang seharusnya. Dengan kekuasaan dan kekayaannya, ia menjadi sombong dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap warga di sekitarnya.

Selain itu, saudagar kaya itu sangat kikir. Ia tidak mau menolong jika ada warga yang membutuhkan pertolongan. Bahkan, saking kikirnya, ia tidak mau menikah seumur hidup. Baginya, menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan. Ia lebih senang hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya di atas penderitaan warga di sekitarnya. Tak heran, jika para warga menjadi benci kepadanya. Menyadari hal itu, sang Saudagar pun menyewa beberapa orang pengawal pribadi untuk menjaga harta kekayaan dan keselamatan dirinya, sehingga tak seorang warga pun yang berani untuk mengusiknya.

Pada suatu hari, berita tentang keangkuhan dan kesewenang-wenangan saudagar kaya itu sampai ke telinga seorang sakti mandraguna. Orang sakti itu pun bermaksud untuk menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir itu. Suatu pagi, ia mendatangi rumahnya dengan menyamar sebagai pengemis dan berkaki pincang.

“Ampun, Tuan! Sudilah kiranya Tuan memberi Hamba makanan dan pakaian. Sudah dua hari hamba belum makan,” iba pengemis itu sambil menunduk di depan sang Saudagar.

Si pengemis bukannya mendapat makanan dan pakaian dari sang Saudagar, melainkan caci-makian dan pelakuan kasar.

“Hai, dasar pemalas! Enak saja kau meminta-minta kepadaku!” bentak saudagar kaya itu. Pengawal! Usir pengemis hina ini dari sini!” serunya seraya mendorong pengemis itu.

Tak ayal lagi, pengemis itu pun jatuh tersungkur ke tanah. Belum sempat ia berdiri, dua orang pengawal segera menyeret dan mengusirnya. Si Pengemis yang malang itu pun murkah mendapat perlakuan kasar itu. Sebelum meninggalkan halaman rumah yang besar dan mewah itu, ia berpesan kepada sang Saudagar.

“Hai, Saudagar kaya yang sombong dan kikir! Bersiap-siaplah untuk menerima balasan yang setimpal. Kamu akan merasakan betapa pedihnya menjadi orang miskin,” ujar pengemis itu.

Begitu selesai berpesan, si Pengemis itu tiba-tiba menghilang. Alangkah terkejutnya sang Saudagar dan kedua pengawalnya menyaksikan peristiwa ajaib tersebut. Meskipun ada rasa takut di dalam hatinya setelah melihat peristiwa ajaib itu, ia berusaha untuk menepisnya.

“Ah, ada-ada saja pengemis itu. Aku takkan mungkin menjadi miskin, karena hartaku sudah sangat melimpah,” ucap sang Saudagar dengan angkuhnya.

Keesokan harinya, betapa terkejutnya sang Saudagar kaya itu ketika bangun tidur, kedua kakinya tidak bisa ia gerakkan. Ia berkali-kali berusaha untuk menggerakkannnya, tapi tetap saja tidak bisa. Ia pun panik dan berteriak histeris memanggil pengawal pribadinya.

“Pengawal! Cepat kemari tolong aku!” teriaknya dengan suara keras.

Mendengar teriakan itu, dua orang pengawalnya pun segera datang.

“Apa yang terjadi dengan Tuan?” tanya seorang pengawalnya.

“Entahlah! Tiba-tiba kakiku tidak dapat kugerakkan,” jawab sang Saudagar sambil memegang kedua kakinya.

Kedua pengawalnya berusaha untuk membantu menggerakkan kakinya, tapi tetap saja tidak bisa. Rupanya, kedua kaki saudagar kaya itu lumpuh. Dengan panik, ia segera memerintahkan seluruh pengawalnya untuk mencari tabib. Pada hari itu juga, seluruh tabib sakti dari berbagai pelosok negeri pun berdatangan untuk mengobati kedua kakinya, namun tak seorang pun yang berhasil. Dalam keadaan yang semakin panik, sang Suadagar berpesan kepada para pengawalnya untuk mengadakan sayembara.

“Pengawal! Umumkan kepada seluruh warga bahwa siapa pun yang mampu menyembuhkan aku dari kelumpuhan ini, dia akan aku berikan setengah dari harta kekayaanku,” ujar sang Saudagar.

Para pengawal setianya pun segera memasang pengumuman di tempat-tempat keramaian seperti di pasar, warung-warung kopi, maupun di pinggir-pinggir jalan ramai. Dalam waktu singkat, seluruh warga desa setempat dan warga desa-desa sekitarnya telah mengetahui perihal pengumuman tersebut, tak terkecuali pengemis itu. Mendengar kabar itu, sang Pengemis pun segera mendaftar untuk menjadi peserta sayembara.

Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah para peserta sayembara dari berbagai kalangan, termasuk si Pengemis itu, di halaman rumah sang Saudagar. Satu per satu para peserta dipanggil untuk mengobati penyakit sang Saudagar. Meskipun mereka telah mengeluarkan segala kemampuan dan kesaktian masing-masing, namun tak seorang pun yang menyembuhkan penyakit sang Saudagar. Bahkan, penyakitnya justru semakin parah, sehingga ia bertambah panik. Kini, tinggal si Pengemis itu yang menjadi harapan satu-satunya.

“Wahai, Pengemis! Tolonglah aku! Hanya kamulah harapanku satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakitku ini,” iba sang Saudagar.

Pengemis itu tersenyum sambil mengamati kedua kaki sang Saudagar.

“Begini, Tuan! Aku tahu penyebab kelumpuhanmu. Semua ini terjadi karena sifatmu yang kikir dan sombong,” ujar si Pengemis.

Betapa terkejutnya sang Saudagar mendengar jawaban si Pengemis. Ia seakan-akan tidak percaya akan hal itu.

“Jika benar yang kamu katakan itu, bagaimana cara menyembuhkannya?” tanya saudagar kaya itu penasaran.

“Jika ingin sembuh dari kelumpuhan ini, Tuan harus memenuhi tiga syarat,” ujar si Pengemis.

“Apapun syaratnya, aku berjanji akan memenuhinya. Asalkan penyakitku dapat dsembuhkan,” jawab sang Saudagar.

Mendengar jawaban itu, si Pengemis pun menyebutkan ketiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh sang Saudagar, yaitu; pertama, sang Saudagar harus merubah sifat sombong dan kikirnya; kedua, ia harus pergi ke kaki Gunung Karang untuk bertapa di atas sebuah Batu Cekung selama tujuh hari tujuh malam, tanpa makan dan minum; ketiga, ia juga harus berjanji untuk memberikan setengah harta kekakayaannya kepada warga miskin setelah ia sembuh dari kelumpuhannya.

Sang Saudagar pun bersedia untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebelum ia berangkat ke Kunung Karang, si Pengemis berpesan kepadanya agar tetap tidak terpengaruh terhadap segala rintangan dan godaan yang dapat membatalkan pertapaannya. Usai berpesan demikian, pengemis itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Saudagar itu pun menyadari bahwa pengemis itu bukanlah orang sembarangan.

Setelah itu, berangkatlah ia ke Gunung Karang dengan ditandu oleh empat orang pengawal pribadinya. Mereka berjalan menelusuri jalan-jalan setapak yang dikelilingi oleh semak belukar dan pepohonan rindang. Setelah dua hari dua malam berjalan, akhirnya mereka pun tiba di kaki Gunung Karang. Di tempat itu terlihatlah sebuah batu yang cukup besar dan berbentuk cekung.

“Pengawal! Bawa aku naik ke atas batu itu!” seru sang Saudagar.

Tanpa disadarinya, ternyata keempat pengawalnya telah jatuh pingsan saat tiba di tempat itu, karena kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh. Akhirnya, dengan susah payah, saudagar itu mengesot di tanah untuk mencapai batu cekung itu dan naik duduk di atasnya.

Ketika hari mulai gelap, sang Saudagar pun segera memulai pertapaannya. Setelah tujuh hari tujuh malam ia bertapa dengan melalui berbagai rintangan dan godaan, seperti menahan lapar dan haus, serta gangguan dari binatang-binatang buas dan makhluk-makhluk halus, kejaiban pun terjadi. Tiba-tiba ia melihat ada air panas menyembur keluar dari sela-sela Batu Cekung tempatnya duduk. Dalam waktu singkat, tempat itu tergenang air, sehingga membentuk sebuah kolam kecil. Melihat peristiwa ajaib itu, sang Saudagar pun mengakhiri pertapaannya dan segera mandi di kalom itu. Betapa terkejutnya ia ketika mencebur ke dalam kolam yang berisi air panas itu. Tiba-tiba ia merasakan darahnya mengalir di kedua kakinya, dan beberapa saat kemudian kedua kakinya dapat digerakkan kembali.

“Oh, terima kasih Tuhan! Engkau telah menyembuhkan kaki Hamba,” saudagar itu mengucap syukur.

Dengan perasaan senang dan gembira, sang Saudagar bersama para pengawalnya segera kembali ke desa. Setibanya di desa, ia pun segera melaksanakan janjinya, yaitu menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada warga miskin di sekitarnya. Ia membagi-bagikan tanah pertaniannya kepada petani miskin untuk digarap. Setelah itu, ia menikahi seorang gadis cantik dari keluarga miskin dan kembali menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala Desa dengan penuh tanggung jawab. Sejak itu, ia dikenal sebagai orang kaya yang dermawan dan Kepala Desa yang arif dan bijaksana, sehingga semua warganya menjadi senang kepadanya.

Kepada setiap orang yang bertamu ke rumahnya, sang Saudagar menceritakan perihal keajaiban sumber air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang telah menyembuhkan penyakit lumpuhnya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar hingga ke penjuru desa, sehingga para warga pun berbondong-bondong mendatangi tempat itu untuk mencoba kemujaraban air panas itu. Terbukti, banyak warga yang telah sembuh dari penyakitnya setelah mandi di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, air panas Batu Cekung tidak hanya menyembuhkan penyakit lumpuh, tetapi juga berbagai macam penyakit seperti reumatik, polio, dan pegal-pegal, karena mengandung kadar yodium dan kalsium.

* * *

Demikian cerita Legeda Batu Kuwung dari daerah Banten, Indonesia. Kini, sumber mata air panas Batu Kuwung menjadi salah salah obyek wisata menarik di daerah Banten. Oleh pemerintah setempat, obyek wisata yang memiliki luas sekitar 7,8 hektar ini diharapkan menjadi salah satu ikon pariwisata air panas di Provinsi Banten.

Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan, maka harta, pangkat, dan jabatannya akan membawa  kebinasaan kepada dirinya sendiri, seperti yang dialami oleh sang Saudagar. Karena kegemarannya menumpuk-numpuk harta dan hidup berfoya-foya, serta menyalahgunakan jabatannya untuk menindas dan berbuat dhalim kepada warga, akhirnya ia dibenci oleh semua orang dan dimurkahi oleh Tuhan. Akibatnya, ia pun terkena penyakit lumpuh, meskipun pada akhirnya sembuh dari kelumpuhan karena telah bertobat. Terkait dengan sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan, dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

    rezki jangan mematikan,
    harta jangan membutakan,
    nikmat jangan menyesatkan.

source : ceritarakyatnusantara.com

Dunia Aretha



Telah dibaca :
Visitors
Legenda Batu Kuwung - Banten Baca selengkapnya...

Asal Usul Pulau Belitung - Bangka Belitung

Belitung atau Belitong (sejenis siput laut) adalah nama sebuah pulau tropis yang terletak di lepas pantai timur Pulau Sumatra, bagian dari Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia. Menurut cerita, pulau yang bentuknya mirip kepala manusia ini merupakan bagian semenanjung utara Pulau Bali yang terputus, lalu hanyut terbawa arus gelombang menuju ke arah utara. Peristiwa apakah yang menyebabkan Pulau Bali terputus? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Pulau Belitung berikut ini.

* * *

Alkisah, di Pulau Bali, Indonesia, hidup seorang raja yang adil dan bijaksana. Sang Raja sangat disegani dan disayangi oleh rakyatnya. Apapun yang dititahkannya pasti dipatuhi oleh rakyatnya. Raja tersebut mempunyai seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai negeri. Sudah banyak pemuda dan putra mahkota yang datang melamarnya, namun tak satu pun lamaran mereka yang diterimanya.

Pada suatu hari, seorang putra mahkota tampan dari kerajaan tetangga datang melamarnya. Ia adalah putra dari sahabat karib ayahandanya. Namun, sang Putri tetap menolak lamaran tersebut. Sang Raja dan Permaisuri sangat heran melihat sikap putrinya itu.

“Permaisuriku! Ada apa dengan putri kita? Kenapa setiap pelamar yang datang selalu ditolaknya?” tanya sang Raja kepada permaisurinya.

“Entahlah, Kanda! Tapi, Dinda merasa putri kita sedang menyembunyikan sesuatu,” kata permaisuri.

“Kalau begitu, sebaiknya hal ini kita tanyakan langsung kepadanya,” kata sang Raja.

“Baiklah, Kanda. Biarlah Dinda yang bicara kepadanya mengenai hal ini,” sahut permaisuri.

Pada suatu sore, permaisuri melihat putrinya sedang duduk di kamarnya. Ia pun segera menghampirinya.

“Putriku! Mengapa Ananda selalu menolak lamaran yang datang?”

Mendengar pertanyaan permaisuri, sang Putri hanya terdiam menunduk. Mulanya, ia malu untuk mengungkapkan alasannya menolak lamaran tersebut. Namun setelah didesak, dengan berat hati sang Putri pun menjawab:

“Maafkan Ananda, Bunda! Bukannya Ananda tidak mau menerima lamaran mereka. Tapi, Ananda merasa malu dengan penyakit yang sedang Ananda derita ini.”

“Penyakit apakah yang sedang Ananda derita? Kenapa Ananda tidak pernah bercerita kepada Bunda?” sang Permaisuri bertanya lagi.

Pertanyaan permaisuri itu membuat sang Putri kembali terdiam. Ia tidak berani menatap ibundanya. Melihat hal itu, sang Permaisuri pun memeluk putri kesayangannya itu.

“Putriku! Penyakit apakah yang sedang Ananda derita? Ceritakanlah kepada Bunda!” bujuk permaisuri.

Sambil menangis terisak di pelukan ibundanya, sang Putri pun bercerita tentang keadaan penyakit yang ia derita.

“Ananda sedang mengidap penyakit kelamin, Bunda,” ungkap sang Putri.

Mendengar cerita itu, Permaisuri pun mengerti dan merasa sedih atas nasib yang menimpa putrinya. Ia pun segera menyampaikan berita buruk itu kepada Baginda Raja.

“Kanda! Dinda sudah tahu alasan kenapa putri kita selalu menolak setiap lamaran yang datang. Rupanya, putri kita sedang mengidap penyakit kelamin,” kata permaisuri.

Betapa terkejutnya sang Raja mendengar berita itu. Ia bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Baginda Raja dan permaisuri memutuskan untuk mengadakan sayembara. Barang siapa yang mampu menyembuhkan penyakit sang Putri akan dinikahkan dengan sang Putri. Sang Raja pun segera memerintahkan kepada hulubalang istana agar menyebarkan pengumuman ke berbagai negeri. 

Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah para ahli pengobatan dari berbagai penjuru untuk mengikuti sayembara tersebut. Satu per satu para ahli tersebut dipanggil untuk mengobati penyakit sang Putri. Meskipun para ahli tersebut telah mengeluarkan kemampuan dan kesaktian masing-masing, namun tak seorang pun yang berhasil menyembuhkan penyakit sang Putri. Putuslah harapan sang Raja dan permaisuri. Oleh karena khawatir penyakit sang Putri akan menular kepada orang-orang di sekitarnya, akhirnya sang Raja pun memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke tengah hutan di semenanjung sebelah utara Pulau Bali.

Keesokan harinya, setelah segala sesuatunya disiapkan, sang Putri pun diantar ke tempat pengasingan. Ia diantar oleh sang Raja dan permaisuri beserta para pembantu istana. Sesampainya di sana, sang Putri dibuatkan sebuah pondokan untuk tempat tinggal. Setelah itu, sang Putri pun ditinggal bersama anjing peliharaannya yang bernama Tumang. Sebelum kembali ke istana, permaisuri berusaha membujuk dan menenangkan hati putrinya.

“Maafkan kami, Putriku! Ayahanda dan Bunda terpaksa meninggalkan Nanda sendirian di sini hingga penyakit Ananda sembuh. Ananda tidak usah khawatir, sesekali waktu Bunda akan mengutus beberapa orang pengawal istana untuk mengantarkan makanan dan segala keperluan Ananda selama tinggal di sini,” ujar permaisuri kepada putrinya.

“Baiklah, Bunda! Demi keselamatan orang lain, Nanda rela tinggal di sini. Lagi pula, Ananda sudah ditemani oleh si Tumang,” kata sang Putri.

Setelah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa untuk perlindungan sang Putri, dengan perasaan sedih sang Raja dan permaisuri beserta rombongannya pergi meninggalkan tempat tersebut.

Selama berada di dalam hutan itu, sang Putri selalu ditemani oleh anjing kesayangannya ke mana pun ia pergi. Pada suatu hari, ketika sang Putri sedang buang air kecil, si Tumang menjilat air kencing sang Putri. Bahkan si Tumang juga menjilat sisa-sisa air kencing yang masih melekat di kemaluan sang Putri. Melihat hal itu, sang Putri tetap membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang Putri buang air kecil.

Setelah beberapa bulan berada di tempat itu, sang Putri mulai merasa kesepian. Sebagai seorang gadis yang sedang mengalami kasmaran yang menggelora, tentu ia mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Ketika asmaranya semakin menggelora dan tak mampu lagi menahannya, akhirnya sang Putri pun melampiaskan nafsunya kepada anjing kesayangannya. Kebiasaan sang Putri membiarkan anjingnya menjilat kemaluannya setiap selesai buang air kecil berubah menjadi hubungan kelamin, hingga akhirnya sang Putri mengandung. Namun, saat itu pula terjadi suatu keanehan. Penyakit yang diderita sang Putri berangsur sembuh.

Pada suatu hari, utusan dari istana datang mengantarkan makanan dan keperluan untuk sang Putri. Betapa terkejutnya para utusan tersebut ketika melihat perut sang Putri yang sudah membesar.

“Ampun, Tuan Putri! Apa yang sedang menimpa Tuan Putri, kenapa perut Tuan Putri menjadi besar begitu?” tanya seorang utusan.

Mulanya, sang Putri enggan untuk menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Setelah didesak, akhirnya ia pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan si Tumang. Ia juga bercerita bahwa sejak berhubungan dengan si Tumang, penyakit kelaminnya berangsur sembuh.

Mendengar pernyataan sang Putri, para utusan itu pun segera kembali ke istana untuk menyampaikan berita tersebut kepada sang Raja. Mulanya sang Raja sangat senang ketika mendengar penyakit putrinya telah sembuh. Namun, alangkah terkejutnya sang Raja ketika mendengar putrinya telah berhubungan badan dengan si Tumang. Mendengar kabar buruk itu, sang Raja bagaikan disambar petir. Ia benar-benar tidak pernah menyangka sebelumnya jika putrinya akan melakukan perbuatan yang sangat memalukan itu. Ia pun menjadi murka dan tidak menerima perbuatan putrinya yang telah mencemarkan nama baik keluarga istana.

Pada suatu malam, Sang Raja mensucikan diri dan memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar menghukum putrinya.

“Ya, Tuhan! Berilah hukuman kepada putriku yang telah melanggar perintahmu! Hancurkanlah tempat di mana Putriku telah melakukan perbuatan tercela!”

Doa sang Raja pun dikabulkan. Beberapa hari kemudian, hujan deras disertai angin sangat kencang datang menerjang. Tidak berapa lama kemudian, bumi pun bergetar sehingga semenanjung Pulau Bali tempat sang Putri diasingkan itu terputus dan hanyut menuju ke arah utara.

Nun jauh di sana, di tengah laut lepas sebelah timur Pulau Sumatra, dua orang nelayan yang bernama Datuk Malim Angin dan Datuk Langgar Tuban sedang memancing ikan dengan menggunakan perahu sampan. Di tengah sedang asyik memancing, tiba-tiba mereka dikejutkan sebuah pemandangan yang aneh. Datuk Malim Angin melihat sebuah pulau sedang hanyut dan melintas tidak jauh dari tempat mereka memancing. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera mengayuh sampan dan mengejar pulau itu. Ketika berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut, Datuk Malim Angin pun segera mengambil sebuah tali sauh dan mengikatkannya pada sebatang pohon yang ada di kaki sebuah gunung, kemudian melemparkan jangkarnya yang telah diikatkan pada ujung tali itu ke dasar laut. Beberapa saat kemudian, pulau itu pun berhenti dan tidak hanyut lagi.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, gunung tempat Datuk Malim Angin menambatkan tali sauhnya disebut dengan Gunung Baginde yang kini terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong, Belitung. Sementara pulau yang hanyut itu, masyarakat setempat menyebutnya Pulau Belitong, yang berasal dari kata Bali terpotong. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitung.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Pulau Belitung dari daerah Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran dari perbuatan lengah dan tidak mampu menahan hawa nafsu, sebagaimana yang dialami oleh sang Putri. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu :
ingat hidup banyak godaan
di kiri iblis di kanan setan
nafsu menanti di dalam badan
selera menunggu di angan-angan
bila lengah hidup mengenyam
bila lalai rusaklah iman
 source : ceritarakyatnusantara.com

Dunia Aretha



Telah dibaca :
Visitors
Asal Usul Pulau Belitung - Bangka Belitung Baca selengkapnya...

Nabi Idris AS : Manusia Pertama Yang Menulis dengan Pena

nabi idrisKarena ketekunannya dalam beribadah dan menuntut  ilmu, Nabi Idris dikaruniai Allah SWT pengetahuan yang luas dan dalam. Dialah manusia pertama yang menulis dengan pena serta satu-satunya Nabi yang tinggal di surga tanpa mengalami kematian.

Nabi Idris lahir di Munaf, sebuah daerah di Mesir. Dia adalah keturunan ke enam Nabi Adam, dari Yazid bin Mihla’iel bin Qinan bin Syits. Dia kakek bapak Nabi Nuh AS. Nabi Syits mengajarkan Idris membaca Shafiah. Allah SWT menurunkan 30 Shahifah kepada Nabi Idris AS yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya (keturunan Qabil yang durhaka kepada Allah).

Idris kecil mempelajari Shafiah dengan tekun, karena kesukaannya membaca itulah, ia mendapat gelar “Idris”, yang artinya orang yang tekun belajar. Dia belajar membaca dan menulis tanpa mengenal waktu dan tempat. Dia menjadi Nabi pertama yang menulis dengan Pena yang terbuat dari batu kerikil. Tidak mengherankan bila Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang luas.

Beliaulah yang mula-mula pandai ilmu hitung dan ilmu bintang, dan beliau pula manusia pertama yang merancak kuda, menggunting pakian yang terbuat dari kulit binatang dan menjahitnya.

Dia mempunyai kekuatan yang hebat dan bertabiat gagah berani, sehingga diberi julukan “Asadul Usud”, artinya Singa dari segala Singa. Dia tidak pernah lalai sedikitpun dari mengingat Allah, walau sedang sibuk menghadapi persoalan penting sehari-hari. Hingga Allah memberikan derajat yang tinggi padanya.

Seperti halnya Nabi Adam dan Nabi Syits, Nabi Idris juga menerima Wahyu Allah melalui Malaikat Jibril yang berupa 30 Shahifah yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada Umatnya. Beliau di utus berdakwah kepada umat keturunan Qabil. Umat ini telah bersikap durhaka kepada Allah. Mereka menimbulkan berbagai bencana dan kerusakan di muka bumi. Oleh Nabi Idris orang-orang ini diajak salat, puasa dan bersedekah.

Tapi, keturunan Qabil ini tak mau mendengar ajakan menuju kebaikan itu. Mereka malah menghina dan mengejek Nabi Idris. “Hidup kami sudah enak, senang dan serba cukup, kenapa engkau mengganggu kami? Tanya beberapa orang penting dari kaum itu.

“Ajaranmu aneh, kami tak membutuhkannya!” sahut yang lain. “Lebih baik engkau hidup sendiri bersama Tuhanmu.”

Begitulah tantangan dakwah Nabi Idris selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebenaran. Hanya beberapa gelintir orang yang mau mengikutinya. Sebagian besar dari mereka lebih suka mengikuti hawa nafsunya sendiri.

Karena keturunan Qabil semakin menentang ajaran Idris, Allah memerintahkan Nabi Idris meninggalkan mereka dan membawa pengikutnya yang setia dan mau beriman kepada Allah untuk menyelamatkan diri. Karena Allah akan menurunkan azab kepada umat yang durhaka itu.

Begitu Nabi Idris dan pengikutnya meninggalkan negeri itu, datanglah azab yang dijanjikan Allah. Paceklik merajalela, pertanian gagal, ternak mati, akhirnya umat yang sesat itupun mati bergelimpangan karena kelaparan.

Sebaliknya, Nabi Idris dan orang-orang beriman yang mengikutinya diselamatkan Allah dari bencana yang mengerikan itu.

 source : sufiz.com
Dunia Aretha



Telah dibaca :
Visitors
Nabi Idris AS : Manusia Pertama Yang Menulis dengan Pena Baca selengkapnya...

I Ceker Cipak - Bali

I Ceker Cipak adalah seorang pemuda miskin dan tidak berayah. Ia sangat rajin membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia juga sangat tekun menjalankan kewajibannya terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Berkat kerajinan dan ketekunannya beribadah, suatu hari ia mendapat rezeki yang melimpah. Rezeki apa yang diperoleh oleh I Ceker Cipak? Ikuti kisahnya dalam cerita I Ceker Cipak berikut ini!

* * *

Alkisah, di sebuah kampung di Pulau Dewata atau Bali, Indonesia, ada seorang pemuda tampan bernama I Ceker Cipak. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk di pinggir kampung. Ia dan ibunya sangat teguh memegang dan menjalankan dharma.[2] Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ibu dan anak tersebut mencari kayu bakar dan hasil-hasil hutan lainnya. Hidup mereka serba kekurangan. Oleh karena tidak ingin terus terbelenggu oleh keadaan tersebut, I Ceker Cipak memutuskan untuk berdagang jagung. Ia ingin pergi ke kota untuk membeli jagung untuk direbus dan dijual kembali.

“Bu, apakah Ibu mempunyai uang tabungan?” tanya I Ceker Cipak kepada ibunya.

“Untuk apa uang itu, Anakku?” ibunya balik bertanya.

I Ceker Cipak pun menceritakan niatnya ingin berdagang ke kota. Alangkah bahagianya perasaan sang Ibu mendengar niat baik anaknya itu. 

“Wah, Ibu merasa senang dan mendukung niatmu itu, Anakku! Ibu ingin sekali membantu usahamu itu, tapi Ibu hanya mempunyai uang 200 kepeng.[3] Uang tersebut Ibu tabung selama bertahun-tahun. Apakah uang itu cukup untuk membuka usaha barumu itu, Anakku?” tanya ibunya.

“Cukup, Bu! Uang tersebut akan Ceker gunakan untuk membeli jagung secukupnya,” jawab I Ceker Cipak.

Mendengar jawaban itu, ibu I Ceker Cipak segera mengambil uang tabungannya, lalu memberikan kepada anak semata wayangnya. Keesokan harinya, I Ceker Cipak pun berangkat ke kota dengan membawa modal 200 kepeng dan sebuah keranjang. Untuk sampai ke kota, ia harus melewati perkampungan, persawahan, dan hutan lebat yang jaraknya cukup berjauhan.

Setelah berjalan setengah hari, sampailah I Ceker Cipak di sebuah perkampungan. Ketika akan melewati perkampungan itu, ia melihat seorang warga yang sedang menyiksa seekor kucing. Melihat tindakan warga yang tidak berbelaskasihan itu, ia segera mendekati dan memintanya agar menghentikan penyiksaan terhadap kucing tersebut.

“Maaf, Tuan! Jangan bunuh kucing itu! Jika Tuan berkenan, saya akan menebusnya dengan uang 50 kepeng,” pinta I Ceker Cipak.

Warga itu pun menerima permintaannya. Setelah menyerahkan uang 50 kepeng kepada warga itu, I Ceker Cipak melanjutkan perjalanan dengan membawa serta kucing itu. Tak berapa jauh berjalan, ia kembali melihat seorang warga sedang memukuli seekor anjing karena mencuri telur ayam. Melihat hal itu, ia pun menebus anjing itu dengan harga 50 kepeng. Setelah itu, ia kembali melanjutkan perjalanan dan membawa serta anjing itu. Kini, ia tidak berjalan sendirian. Ia ditemani oleh kucing dan anjing yang telah ditebusnya.

Ketika hari menjelang sore, I Ceker Cipak bersama kucing dan anjing tebusannya tiba di sebuah hutan lebat. Saat melewati hutan lebat itu, ia melihat beberapa orang warga sedang memukuli seekor ular yang telah memangsa seekor bebek. Karena merasa kasihan, ia pun menebus ular itu dengan 50 kepeng. Para warga yang telah memukuli ular itu terheran-heran melihat perilaku I Ceker Cipak.

“Hai, teman-teman! Anak Muda itu sudah gila. Untuk apa dia menebus ular yang tidak ada gunanya itu?” celetuk seorang warga.

I Ceker Cipak tidak menghiraukan celetukan warga itu. Setelah memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya, ia segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri hutan lebat, I Ceker Cipak memasuki daerah persawahan. Ketika itu, ia menemui para petani sedang menangkap seekor tikus dan memukulinya. I Ceker Cipak tidak sampai hati melihat tikus itu disiksa oleh mereka.

“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan siksa tikus itu! Jika Tuan-Tuan berkenan, biarlah aku tebus tikus itu dengan harga 25 kepeng,” pinta I Ceker Cipak.

Para petani itu pun mengabulkan permintaannya. Setelah menyerahkan uang tebusan sebesar 25 kepeng kepada para petani tersebut, I Ceker Cipak kembali melanjutkan perjalanan dengan ditemani oleh kempat hewan tebusannya, yaitu seekor anjing, kucing, ular, dan tikus. Mereka tiba di pasar Kota Raja saat hari mulai gelap. I Ceker Cipak merasa sangat lapar. Setelah memeriksa sakunya, ternyata uangnya hanya tersisa 25 kepeng. Akhirnya, uang tersebut ia pakai membeli makanan untuk dirinya dan keempat binatang tebusannya. Ia terpaksa batal membeli jagung, karena sudah kehabisan uang.

Ketika I Ceker Cipak bersama keempat binatang tebusannya sedang asyik makan, tiba-tiba seorang prajurit istana yang sedang patroli datang menghampirinya.

“Hai, Anak Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya prajurit itu.

“Nama saya I Ceker Cipak, Tuan! Maaf jika kedatangan saya mengganggu ketenteraman kota ini,” jawab I Ceker Cipak sambil memberi hormat.

“Apa maksud kedatanganmu ke kota ini? Dan, untuk apa kamu membawa hewan-hewan piaraanmu itu?” prajurit itu kembali bertanya.

“Maaf, Tuan! Sebenarnya, saya datang ke kota ini untuk membeli jagung, namun uang saya telah habis untuk menebus keempat binatang ini yang sedang dianiaya orang,” jawab I Ceker Cipak.

“Wah, hatimu sungguh mulia, Anak Muda!” puji prajurit itu

Prajurit itu kemudian mengajak I Ceker Cipak ke istana untuk menghadap sang Raja. Setibanya di istana, prajurit itu menceritakan maksud kedatangan I Ceker Cipak ke kota dan semua peristiwa yang dialaminya di perjalanan. Mendengar cerita tersebut, Raja yang baik hati itu pun mengizinkan I Ceker Cipak untuk menginap semalam di istana. Sang Raja juga memerintahkan kepada dayang-dayang istana untuk melayani segala keperluan I Ceker Cipak dan keempat hewan piaraannya. Alangkah senang hati I Ceker Cipak mendapat kehormatan tidur di dalam istana dan pelayanan istimewa dari sang Raja.

Malam telah larut, namun I Ceker Cipak belum bisa memejamkan matanya, karena memikirkan ibunya yang tidur sendirian di gubuk. Ia juga memikirkan uang pemberian ibunya yang telah habis untuk menebus keempat binatang tersebut. Ia bingung untuk menjelaskan semua itu kepada ibunya. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba si Ular merayap mendekatinya.

“Wahai, Tuanku yang berbudi luhur! Jika besok saat pulang dan bertemu dengan seekor ular besar, Tuan jangan takut! Dia adalah ibuku yang bernama Naga Gombang. Meskipun terkenal sangat ganas, tapi dia tidak akan mengganggu orang yang tekun menjalankan dharma. Jika ia memintaku darimu, maka mintalah tebusan kepadanya!” ujar si Ular.

I Ceker Cipak tersentak kaget, karena tidak pernah mengira sebelumnya jika ular itu dapat berbicara seperti manusia. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkan hal itu, yang penting ia berjanji akan melaksanakan pesan ular itu.

Keesokan harinya, I Ceker Cipak pun berpamitan kepada sang Raja. Raja yang baik hati itu membekalinya kain, uang, dan sepuluh ikat jagung.

“Bawalah kain, uang dan jagung ini sebagai oleh-oleh untuk ibumu di rumah!” ujar sang Raja.

“Terima kasih banyak atas semua kebaikan, Gusti! Semoga Tuhan senantiasa memberkahi Gusti!” ucap I Ceker Cipak seraya memberi hormat untuk memohon diri.

I Ceker Cipak kembali ke kampung halamannya melewati jalan semula. Ketika ia memasuki hutan belantara, tiba-tiba ia dihadang oleh seekor ular yang sangat besar.

“Hai, Anak Muda! Berhenti dan serahkan ular itu kepadaku!” seru ular besar itu.

“Hai, Ular Besar! Pasti kamu yang bernama Naga Gombang. Ketahuilah wahai Naga Gombang, akulah yang telah menyelamatkan anakmu! Jika kamu hendak mengambil anakmu dariku, kamu harus menebusnya!” kata I Ceker Cipak.

“Wahai, Anak Muda! Jika memang benar yang kamu katakan itu, ambillah cincin permata yang ada di ekorku sebagai penebus! Semua barang akan menjadi emas jika kamu gosokkan dengan cincin itu,” ujar Naga Gombang.

I Ceker Cipak pun mengeluarkan ular yang ada di dalam keranjangnya lalu menyerahkannya kepada Naga Gombang. Setelah itu, ia segera mengambil cincin permata di ekor Naga Gombang, kemudian menyelipkan di ikat pinggangnya dan melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di gubuknya, ia dikejutkan oleh sebuah peristiwa ajaib, ikat pinggangnya telah berubah menjadi emas. Ibunya pun sangat heran menyaksikan peristiwa ajaib itu.

“Bagaimana hal itu bisa terjadi, Anakku?” tanya ibunya heran.

I Ceker Cipak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan hingga tiba kembali ke rumah. Ibunya merasa amat bahagia memiliki anak yang taat menjalankan dharma. Sejak memiliki cincin permata itu, kehidupan keluarga I Ceker Cipak berubah. Kini, ia telah menjadi kaya raya di kampungnya. Ia hidup berbahagia bersama ibu dan ketiga hewan piaraannya, yakni si tikus, kucing, dan ajingnya. Meskipun sudah menjadi orang kaya, I Ceker Cipak tetap rajin bekerja.

Pada suatu hari, I Ceker Cipak membantu ibunya menumbuk padi, namun ia lupa melepas cincin permata dari jari tangannya. Tanpa disadarinya, cincin permata itu patah dan jatuh ke dalam lesung. Maka seketika itu pula lesung dan alu itu tiba-tiba berubah menjadi emas. Ia dan ibunya sangat heran bercampur gembira menyaksikan peristiwa ajaib terserbut. Sejak itu, I Ceker Cipak semakin terkenal dengan kekayaannya hingga ke berbagai penjuru negeri.

Setelah itu, I Ceker Cipak membawa cincinnya yang patah ke tukang emas untuk diperbaiki. Rupanya, tukang emas itu mengerti bahwa cincin itu memiliki tuah yang dapat mendatangkan kekayaan. Oleh karena itu, ia berniat untuk memilikinya. Agar tidak ketahuan oleh pemiliknya, ia pun membuat sebuah cincin palsu yang sangat mirip dengan cincin permata ajaib itu. Ketika I Ceker Cipak datang hendak mengambil cincinnya, ia memberikan cincin yang palsu. I Ceker Cipak tidak merasa curiga sedikit pun. Setibanya di rumah, ia ingin menguji kesaktian cincin permata itu. Perlahan-lahan ia menggosokkan cincin itu pada sebuah batu, namun batu itu tak kunjung berubah menjadi emas. Dari situlah I Ceker Cipak mulai curiga.

“Bu! Coba periksa cincin permata ini! Sepertinya ia tidak sakti lagi,” kata I Ceker Cipak. “Wah, jangan-jangan tukang emas itu telah menukarnya!”

Setelah diperiksa oleh ibunya, ternyata benar cincin itu palsu. Ibunya sangat mengenal bentuk cincin permata yang asli itu.

“Dugaanmu benar, Anakku! Tukang emas itu telah menukar cincinmu dengan cincin palsu,” kata ibunya.

“Apa yang harus kita lakukan, Bu?” tanya I Ceker Cipak.

Ibu I Ceker Cipak pun bingung harus berbuat apa. Ia berpikir keras untuk mencari agar dapat mengambil kembali cincin permata sakti itu. Suasana di rumah itu menjadi hening. Hingga malam larut, mereka belum juga menemukan jalan keluar. Hati mereka diselimuti perasaan sedih. Melihat tuannya bersedih, si Tikus, Kucing, dan Anjing melakukan musyawarah secara diam-diam. Mereka ingin membantu tuannya untuk mendapatkan kembali cincin permata tersebut dari si tukang emas. Setelah mengatur siasat, mereka pun berangkat ke rumah si tukang emas tanpa sepengetuhuan I Ceker Cipak dan ibunya.

Setibanya di rumah si tukang emas, ketiga binatang piaraan I Ceker Cipak tersebut membagi tugas. Si Kucing bertugas menunggu di depan pintu, dan si Anjing menunggu di depan tangga. Sementara, si Tikus bertugas bersiap-siap untuk menyelinap masuk ke dalam rumah untuk mencari cincin tuannya.

Setelah semuanya sudah siap, mereka pun mulai menjalankan tugas masing-masing. Si Kucing mulai mencakar-cakar pintu rumah, sehingga si tukang emas terbangun. Begitu tukang emas itu membuka pintu, si Kucing mencakar-cakar kakinya hingga jatuh terguling-guling di tangga. Si Anjing yang sedang menunggu di depan tangga segera menggigitnya. Tukang emas itu pun tergeletak tak sadarkan diri. Pada saat itulah, si Tikus segera masuk ke dalam rumah. Dengan ganasnya, ia melubangi peti tempat penyimpanan perhiasan tukang emas itu, lalu mengambil cincin permata tuannya. Setelah itu, mereka segera kembali ke rumah untuk menyerahkan cincin itu kepada I Ceker Cipak. Hari sudah pagi, namun mereka belum juga sampai di rumah tuannya.

Sementara itu, I Ceker Cipak yang baru bangun tidur sangat cemas, karena ketiga binatang piaraannya tidak ada di rumah.

“Bu! Apakah Ibu tahu ke mana binatang piaraanku pergi?” tanya I Ceker Cipak.

“Wah, Ibu tidak tahu, Anakku! Sejak tadi Ibu juga belum melihatnya,” jawab Ibunya.

Baru saja I Ceker Cipak akan pergi mencarinya di sekitar gubuk, ketiga binatang piaraannya tersebut tiba-tiba muncul dari balik semak-semak. Alangkah terkenjutnya ia ketika melihat cincin permatanya ada di mulut si Tikus. Ia baru sadar bahwa ternyata ketiga binatang piaraannya pergi ke rumah si tukang emas untuk mengambil cincin permata itu. Ia pun menyambut mereka dengan perasaan gembira.

“Terima kasih, kalian telah membantuku mendapatkan kembali cincin permata ini,” ucap I Ceker Cipak setelah si Tikus menyerahkan cincin itu kepadanya.

Sejak itu, I Ceker Cipak sangat berhati-hati dalam menjaga cincin permata saktinya. Semakin hari, harta kekayaannya pun semakin bertambah. Ia adalah orang kaya yang dermawan. Ia senantiasa membantu para warga di sekitarnya yang membutuhkan. Ia juga selalu mengingat semua orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya.

Pada suatu hari, I Ceker Cipak bersama ibu dan ketiga hewan piaraannya datang menghadap kepada sang Raja untuk mengucapkan terima kasih. Ia datang dengan pakaian yang sangat rapi dan bersih, sehingga terlihat tampan dan gagah. Sebagai ucapan terima kasih, ia persembahkan sebagian emasnya kepada sang Raja. Kedatangannya pun langsung diterima dan disambut baik oleh sang Raja. Melihat ketampanan dan kegagahan I Ceker Cipak, sang Raja tiba-tiba terpikat hatinya ingin menikahkan dia dengan putrinya yang bernama Ni Seroja. I Ceker Cipak pun tidak menolak keinginan sang Raja. Akhirnya, I Ceker Cipak menikah dengan Putri Ni Seroja. Sejak itu, I Ceker Cipak tinggal di istana bersama istri, ibu, dan hewan-hewan piaraannya. Mereka hidup bahagia dan sejahtera.

* * *

Demikian cerita I Ceker Cipak dari daerah Bali, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas. Pertama: orang yang rajin dan tekun menjalankan perintah agama akan mendapat imbalan berlipat ganda dari Tuhan Yang Mahakuasa, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini ditunjukkan oleh sifat dan perilaku I Ceker Cipak. Berkat ketekunannya menjalankan dharma dengan cara suka menolong antarsesama makhluk, maka ia pun mendapat imbalan berlipat ganda. Ia menjadi kaya raya dan memperoleh istri seorang putri raja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

    supaya hidup beroleh rahmat,
    amal ibadah jangan disukat
    
    wahai ananda cahaya rumah,
    dalam ibadah janganlah lengah
    kerjakan suruh, jauhkan cegah
    supaya hidupmu beroleh berkah

Kedua, orang yang suka mengambil hak milik orang lain akan mendapat balasan yang setimpal, seperti si tukang emas. Karena kelicikannya ingin memiliki cincin permata I Ceker Cipak, ia pun mendapat ganjaran setimpal. Ia tergeletak tidak sadarkan diri setelah dicakar oleh si Kucing dan digigit oleh si Anjing. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

    siapa merampas hak milik orang,
    azabnya keras bukan kepalang

source : ceritarakyatnusantara.com

Dunia Aretha



Telah dibaca :
Visitors
I Ceker Cipak - Bali Baca selengkapnya...