Bila Dipanggil Ibu

“Amaaar…” panggilan umi kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Malas-malasan Amar menuju ke belakang.
“Ada apa sih Mi…? nada suara Amar terdengar kesal.
“Anak umi dipanggil-panggil kok susah sekali ya, lagi ngapain sih? Ini lauknya sudah matang, kamu makan dulu ya!”
“Masih asyik nih Mi, ceritanya lagi seru-serunya.”
“Duh anak umi kalau sudah baca komik, sampai nggak terasa lapar. Ini sudah siang lho Nak!”

Akhirnya Amar mengikuti umi ke meja makan, mengambil nasi, dan duduk di samping umi.
“Lho, Mi, ini kok ada yang gosong…”
“Biar, nanti yang gosong buat umi. Kamu ambil yang nggak gosong ya!”

Umi ikut mengambil nasi di piring, kemudian memindahkan lauk yang gosong ke piringnya.
“Kok bisa ada yang gosong sih Mi?”
“Tadi waktu umi sedang menggoreng, adik bangun, nangis. Umi langsung lari ke kamar adik, sampai lupa mengecilkan api kompor. Tapi Alhamdulillah, yang gosong cuma dua, lauk terakhir yang sedang umi goreng. Ayo dimakan, jangan lupa doa dulu!”

Untuk beberapa saat Amar dan umi berkonsentrasi pada makanan yang ada di hadapan mereka. Di tengah-tengah mereka makan, terdengar suara tangis Salma, adik Amar yang masih bayi. Umi segera berhenti makan, dan setengah berlari, umi menuju ke kamar Salma.

Amar memandangi sisa nasi di piring umi, juga lauk umi yang gosong. Tiba-tiba ada keinginan di hati Amar untuk merasakan lauk yang setengahnya menghitam yang ada di piring umi.
“Pahit…” gumam Amar sambil segera mengambil air minum. Kasihan umi, pasti nggak enak makan dengan lauk gosong.

Amar menyusul umi ke kamar Salma. Ternyata umi sedang mengganti popok adiknya yang ngompol.
“Tuh Kak Amar. Sini Kak, temani adik dulu ya!”
“Umi mau teruskan makannya ya? Lauknya diganti yang nggak gosong saja Mi!”
“Lho, terus lauk yang gosong dikemanakan, dibuang? Karena nggak enak dimakan? Itu mubadzir namanya sayang, nggak disukai Allah. Lagian yang gosong kan cuma luarnya, dalamnya masih enak dimakan.”

Belum sampai lima menit Amar menunggui adiknya dan umi menghabiskan sisa makanannya, Salma sudah menangis lagi.
Umi pun kembali ke kamar Salma.
“Kenapa sayang? Ooh, Salma pingin bangun ya… Kak Amar belum bisa gendong Salma, yuk gendong umi yuk…”

Umi menggendong Salma. Amar mengikuti di belakang. Ternyata, umi masih belum selesai makan. Sambil memangku adiknya, umi menghabiskan sisa nasinya yang tinggal satu sendok.

Amar tertegun. Demikian susahnya umi menikmati waktu makannya tanpa gangguan. Bahkan apa pun yang sedang dilakukan umi, beliau langsung menghentikannya saat mendengar adiknya menangis. Bukan, bukan hanya tangis adik yang membuat umi berhenti mengerjakan pekerjaan rumah. Kemarin, waktu dia teriak-teriak memanggil umi karena tidak bisa turun dari pohon belimbing di depan rumah yang dipanjatnya, umi juga langsung berlari dan meninggalkan setrikanya yang panas menempel di salah satu bajunya yang sedang disetrika.

Alhamdulillah yang gosong baju umi sendiri. Bukan seragam sekolah kamu atau baju abi.” kata umi setelah membantunya turun dari pohon belimbing itu dan tersadar kalau setrikanya belum beliau matikan.

Ya Allah, begitu bersegeranya umi datang ketika kami, anak-anaknya membutuhkannya. Sementara aku… Tadi saja waktu umi memanggilku untuk makan, aku malas-malasan memenuhi panggilannya, bahkan sampai tiga kali umi harus mengulang memanggil namaku, padahal sedang apa aku tadi… Baca komik, kegiatan yang tidak penting dan tidak rugi bila ditinggalkan sesaat untuk menyambut panggilan umi.
Amar terus terdiam, merenungi kesalahannya yang bukan baru sekali ini dia lakukan. Maafkan Amar ya Umi!

Dunia Aretha



Source : adzkia.com

Telah dibaca :
Track Stats
Share
Related Stories Widget by LinkWithin